LEAN VS AGILE VS DESIGN THINKING

HUBUNGAN DARI LEAN, AGILE DAN DESIGN THINKING

(MENDAHULUKAN PRINSIP DARIPADA PROSES)

PEMBICARA: JEFF GOTHELF

Selamat datang teman - teman, pada post kali ini saya akan membahas mengenai Lean, Agile dan Design Thinking yang merupakan 3 faktor penting dalam perancangan perusahaan industri dan juga 3 hal ini sangat dibutuhkan dalam keilmuan teknik industri. Selamat belajar. 


1.   Pendahuluan Awal Mengenai Lean, Agile dan Design Thinking

Pada pengenalan dan pendahuluan awal ini, Jeff memperkenalkan Lean, Agile dan Design Thinking dengan perumpamaan pada sebuah film yang berjudul Goodfellas yang menceritakan tentang gangster di Amerika. Perumpamaan ini diperlihatkan pada satu bagian dari film tersebut di mana terdapat 3 pemeran film yaitu Robert De Niro, Ray Liotta dan Joe Pesci. Mereka bertiga ini adalah gangster dan pada suatu malam mereka mempunyai “masalah” di bagasi mobilnya Ray Liotta. Maka dari itu, mereka berkunjung ke rumah Ibunya Joe Pesci untuk mengambil pisau dapur yang besar yang mereka butuhkan untuk mengatasi masalah yang ada di bagasi mobilnya Joe Pesci. Pada malam itu, mereka berkunjung dan setelah mereka mengambil pisau tersebut, Ibu Joe Pesci menahan mereka agar tidak langsung pergi, lalu Ibu Joe Pesci mengajak mereka bertiga untuk makan malam bersama. Ketika mereka sedang makan bersama, Ibu Joe Pesci menunjukkan sebuah lukisan yang dilukisnya sendiri dan di dalam lukisan tersebut terdapat 2 ekor anjing dan seorang lelaki yang berada di atas perahu. Lalu, Joe Pesci berkata,”Satu ekor anjing mengarah ke arah Timur, satu ekor anjing mengarah ke arah Barat, dan lelaki di tengah berkata apa yang Anda inginkan dari saya?”.

Hubungan dari kisah di atas terhadap pengembangan software dalam pengalaman Jeff Gothelf adalah ketika bertemu dengan kliennya yang sedang mengubah tim pengembangan lintas departemen menjadi sebuah tim pengembangan produk software modern. Klien Jeff Gothelf berkata,”Saya mengajarkan tim teknis saya Agile, saya mengajarkan tim produk saya Lean, dan saya mengajarkan tim desain saya Design Thinking. Tetapi, sintesis dalam hal ini baik dalam proses, kolaborasi atau kerja sama, pemahaman dan bahasa yang telah didiskusikan bersama – sama, serta kesuksesan dalam produk yang luar biasa sama sekali tidak terjadi”. Mereka tidak memiliki bahasa yang sama, mereka tidak dapat bekerja bersama – sama, mereka memiliki ritme yang berbeda – beda, dan kreativitas atas kerja sama yang luar biasa dan tangkas (Agility) ini tidak berhasil. Lalu, seperti yang diumpamakan, klien Jeff adalah lelaki yang berada di tengah perahu dan berkata,”Apa yang Anda inginkan dari saya? Saya telah melatih setiap tim mengenai ketangkasan atau Agile, manajemen produk, dan design thinking. Tetapi, semua hal tersebut tidak berhasil dan saya tidak tahu kenapa.” Perumpamaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Perumpamaan Lean, Agile dan Design Thinking

Menurut Jeff Gothelf, banyak perusahaan zaman sekarang mencoba untuk memperbaiki semua hal dengan proses dan menurut Jeff hal ini adalah langkah yang salah. Kebanyakan perusahaan sekarang yang sudah besar dan menjadi marker leader berpikir bahwa mereka sudah besar dan makmur sehingga buat apa melakukan hal yang berbeda pada sekarang ini. Pengalaman Jeff ketika berkeliling ke seluruh dunia, ia melihat bahwa setiap perusahaan selalu ingin menjadi Lean dan Agile dan bagaimana caranya untuk mencapai hal tersebut. Banyak hal yang didapatkan dari buku – buku mengenai Lean, Agile ataupun Design Thinking mengenai penerapannya dalam sebuah tim, dan menurut Jeff jika penerapan ini diterapkan pada semakin banyak tim, penerapan ini cenderung akan gagal. Mengapa?

Jeff Gothelf melakukan riset sains dengan cara menanyakan persoalan ini di Twitter. Banyak sekali jawaban – jawaban yang didapatkan dan ia kumpulkan hanya jawaban yang sering ia dengar dari perusahaan – perusahaan yang bekerja sama dengannya. Memfokuskan pada kebutuhan bisnis daripada kebutuhan pengguna dan tidak menyadari bahwa kedua hal tersebut adalah hal yang sama. Maka dari itu, pencapaian jangka pendek perusahaan tidak memfokuskan pada siapa pelanggannya, bagaimana caranya membuat pelanggan sukses dan khawatir terhadap produk atau brand. Hal – hal ini membuat perusahaan tidak menerapkan penerapan Agile dan Lean Thinking.

 

2.   Pengertian dari Agile Thinking

Menurut Jeff Gothelf, Agile adalah suatu kondisi di mana adanya hal – hal baru yang muncul di dunia atau pasaran yang kita ketahui dan mempengaruhi rencana awal dari pengembangan produk kita, maka kita harus mengubah rencana dan arah pengembangan produk kita serta menyesuaikannya. Secara garis besar, Agile ini merupakan respon untuk mengubah daripada mengikuti rencana.

Kebanyakan perusahaan zaman modern ini, menerapkan Agile untuk menghasilkan lebih banyak produk berkualitas dengan fitur – fitur secepat – cepantya. Hal lainnya pada cara pemikiran perusahaan adalah lebih banyak fitur yang dibuat maka lebih tinggi nilai atau value yang diberikan. Realitanya menurut Jeff Gothelf adalah hanya karena kita dapat membuatnya, tidak berarti kita harus membuatnya.

 

3.   Pengertian dari Lean Thinking

Menurut Jeff Gothelf, Lean diumpamakan seperti pada sistem produksi di Toyota, yaitu dengan menggunakan sistem produksi model pull atau tarik. Secara sederhana, model pull ini dilakukan dengan mendengarkan dan mencari tahu terlebih dahulu kebutuhan dan keinginan di pasar yang memberitahu kita apa yang harus dibuat, kapan harus dibuat, di mana harus dibuat dan berapa yang harus dibuat dengan meminimalisir waste atau pemborosan. Prinsip dari Lean Thinking ini adalah mengubah ketidakpastian menjadi kepastian dan mengurangi risiko kesalahan dengan cara bekerja dan memproduksi produk pada batch kecil.

 

4.   Pengertian dari Design Thinking

Menurut Tim Brown, Design Thinking adalah pendekatan yang berpusat pada manusia itu sendiri pada inovasi yang menggunakan tools atau alat – alat pemecah masalah seorang designer untuk diintegrasikan kepada kebutuhan dari masyarakat, kemungkinan – kemungkinan dari teknologi dan kebutuhan – kebutuhan dari kesuksesan bisnis. Hal ini juga berhubungan dengan prinsip utama dari Agile Thinking dan prinsip utama dari Lean Startup yaitu berempati dan memahami kebutuhan dan apa yang ingin dicapai oleh pelanggan kita, memberikan solusi – solusi pada masalah yang dihadapi oleh pelanggan, memberikan ide – ide dari solusi tersebut yang bervariasi, melakukan prototyping dari ide tersebut dan melakukan uji coba. Kemudian, jika berhasil maka akan dilakukan produksi skala kecil untuk melihat respon dari pasar.

 

5.   Hubungan dari Metode Design Thinking Process, Metode Lean Startup Build dan Pengembangan Secara Agile

Pada dasarnya, sudah terlihat bahwa metode Design Thiking Process dapat bekerja dengan baik secara bersama – sama dan cocok untuk digabungkan dengan metode Lean Startup Build. Pada organisasi atau perusahaan - perusahaan, mereka mencoba untuk membawa hubungan dari Design Thinking dengan Lean Startup tersebut dan menggabungkannya dengan pengembangan prinsip Agile. Ilustrasi hubungan ketiga metode ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Ilustrasi Hubungan Metode Design Thinking Process, Metode Lean Startup Build dan Pengembangan Secara Agile

Pada dasarnya, kesulitan terbesar pada menggabungkan ketiga metode ini adalah mempersatukan ketiga metode ini karena tiap metode memiliki bahasa yang berbeda – beda dan cara berpikir yang berbeda – beda. Menurut Jeff Gothelf, langkah pertama adalah kita harus mengintegrasikan prinsip – prinsip dari ide – ide ini, bukan prosesnya. Prinsip dari Lean Thinking, prinsip dari Agile dan prinsip dari Design Thinking dapat bekerja sama dengan baik.

 

6.   10 Prinsip Gabungan dari Metode Design Thinking Process, Metode Lean Startup Build dan Pengembangan Secara Agile

      Prinsip Pertama (#1) yaitu CUSTOMER VALUE = BUSINESS VALUE.

      Pada prinsip ini, menekankan pada customer value adalah hal yang sama dengan business value. Jika kita membuat para pelanggan kita sukses, menghargai waktu pelanggan, membantu pelanggan mencapai tujuan atau cita – cita, membuat pelanggan lebih baik ketika bekerja, dan membuat pelanggan lebih baik dalam keluarganya maka pelanggan kita akan membalas perbuatan baik bisnis atau perusahaan kita dengan cara mempromosikan atau memberitahu produk atau bisnis kita kepada orang lain, teman – temannya, internet, atasan, dan orang terdekat. Dengan adanya hal ini, maka pelanggan kita akan bertambah banyak di pasaran.

      Jika kita tidak memperhatikan hal ini, maka bisnis atau perusahaan kita dapat bangkrut. Contohnya pada perusahaan Gibson Guitars yang memproduksi alat musik gitar. Perusahaan ini bangkrut dikarenakan terus memproduksi alat musik gitar dengan fitur baru yang lebih banyak dan desain yang lebih elegan, lalu mereka memproduksi gitar – gitar ini untuk dijual hanya untuk tujuan berinovasi. Akhirnya, tidak ada orang yang membeli gitar – gitar sehingga mereka bangkrut. Berbeda dengan perusahaan Fenders Guitars, perusahaan ini berkembang dengan sangat baik. Mereka memperhatikan pada kebutuhan dari pasar, mereka berempati pada pelanggan mereka, dan mereka membuat produk dan layanan yang memenuhi kebutuhan pelanggan. Mereka memfokuskan pada nilai pelanggan atau customer value dan bisnis mereka berkembang pesat dengan memperhatikan apa yang diinginkan dari pasar. Fenders Guitars ini menerapkan perspektif user-centered (terpusat pada pengguna) yang menyebabkan keberhasilan dari produk dan layanannya. Dengan hal ini, maka hasil atau outcome akan memberitahu kapan kita telah berhasil memberikan customer value dan kapan kita telah selesai atau done.

      Prinsip Kedua (#2) yaitu Work in Short Cycles.

      Prinsip kedua ini mengajarkan bahwa kita harus bekerja dengan siklus kerja yang lebih pendek sehingga kita belajar lebih cepat dan dengan cara ini kita dapat melihat ke belakang hasil pekerjaan kita lalu kita dapat mengambil keputusan untuk melanjutkan atau berhenti. Keputusan untuk melanjutkan dan berhenti ini didasarkan pada respon dan balasan dari pasar ataupun data – data dari tim kita yang mengatakan apakah harus dilanjutkan atau dihentikan. Jika harus dilanjutkan maka kita dapat membawa siklus kerja singkat tersebut ke tahap siklus kerja selanjutnya. Jika harus dihentikan maka kita harus mengganti cara kerja kita, hal ini termasuk dalam prinsip Agile. Siklus kerja singkat berarti investasi yang lebih rendah, risiko lebih rendah, dan lebih mudah untuk mengubah cara kerja atau tujuan. Jadi hal ini menjelaskan bahwa kita mengumpulkan fakta dan bukti pada akhir dari siklus kerja singkat tersebut dan kita mengambil keputusan berdasarkan fakta dan bukti tersebut dan berdasarkan pada perilaku pelanggan.

      Pertanyaan kunci dari Jeff Gothelf yang selalu ia tanyakan kepada timnya ketika telah selesai melaksanakan siklus kerja singkat adalah “Apa hal penting selanjutnya yang harus kita pelajari?” dan “Metode kerja apa yang paling efektif dan efisien yang harus kita lakukan untuk mempelajari hal terpenting tersebut?”.

      Prinsip Ketiga (#3) yaitu Hold Regular Retrospectives.

      Pada prinsip ketiga ini, kita harus berpegang teguh dan membiasakan untuk melihat ke belakang pada waktu yang singkat dan membahas apa yang bekerja dengan baik lalu terus melakukan apa yang sudah bekerja dengan baik serta apa yang tidak bekerja dengan baik lalu ubah hal tersebut.

      Fondasi pada prinsip ini adalah memperbaiki proses. Jadi kita melihat ke belakang misalnya pada Minggu lalu, kita tidak dapat melakukan uji coba pada produk karena membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memberikan desain kita ke developer. Lalu dari hal ini, kita berpikir apa yang harus dilakukan lain kali agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali.

      Prinsip Keempat (#4) yaitu Go and See.

      Fondasi dasar dari prinsip ini adalah mengatur dan mengelola dengan cara jalan berkeliling. Jika kita seorang manager, maka kita dapat berkeliling kantor untuk melihat apa yang dikerjakan oleh tim – tim lainnya, lihatlah apa yang bekerja dengan baik pada mereka, bagaimana mereka menyusun meeting atau diskusi mereka lalu perkuat kebiasaan yang baik tanpa memikirkan apakah itu Lean, Agile atau Design Thinking.

      Prinsip Kelima (#5) yaitu Test High-Risk Hypotheses.

      Jadi pada prinsip ini, dari banyak hipotesis yang muncul, kita harus menguji apa yang memiliki risiko tertinggi. Jeff menerangkan dengan menggunakan diagram bagaimana cara untuk menguji hipotesis yang harus diuji terlebih dahulu. Diagram ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram Pengujian Hipotesis Jeff Gothelf

 

 

      Prinsip Keenam (#6) yaitu Do Less, More Often.

      Pada prinsip ini dijelaskan bahwa, daripada melakukan fase penelitian yang lama ke depannya, kita melakukan usaha atau penelitian yang berskala lebih kecil dan dengan usaha yang lebih kecil. Kita hanya perlu melakukannya lebih sering dan terjadwal. Jadi pada hal ini, kita harus mengetahui apa hal terpenting yang harus dipelajari selanjutnya dan bagaimana caranya mempelajari hal penting tersebut dengan cepat. Contohnya pada Amazon yang menguji salah satu produknya yaitu Wizard of Oz (Voice Interface) dan Amazon mengetahui bahwa hal terpenting yang harus mereka pelajari adalah apa yang akan ditanyakan orang kepada Wizard of Oz ini dan apakah jawaban respon yang baik. Daripada mencoba produk ini dalam skala besar, Amazon bereksperimen dengan cara mendatangkan pelanggan dan menempatkannya di suatu ruangan bersama fake Alexa. Di balik fake Alexa ini terdapat seorang teknisi yang akan menjawab pertanyaan – pertanyaan dari pelanggan tersebut menggunakan microphone. Hal ini terlihat bahwa fake Alexa yang menjawab pertanyaan tersebut, nyatanya adalah tidak. Amazon melakukan suatu penelitian yang membutuhkan usaha yang sederhana dan melaksanakan penelitian ini lebih sering. Amazon belajar apa hal terpenting yang harus mereka pelajari selanjutnya.

      Prinsip ketujuh (#7) yaitu Working As a Balanced Team.

      Taktik pada prinsip ini adalah menggunakan Modern Staffing Model. Pada model ini tim yang dibentuk harus terdiri dari sedikit orang karena dalam tim kecil akan lebih Agile, dan tidak ada sembunyi dalam tim kecil. Lalu, tim yang berdedikasi dengan fokus pada satu pekerjaan sampai selesai baru melanjutkan ke pekerjaan selanjutnya akan lebih sukses dan berhasil. Kemudian, tim yang bekerja di tempat yang sama sehingga tidak terjadi bentrokkan waktu. Selanjutnya, adalah tim lintas fungsional, yang berarti tim – tim antar departemen yang berbeda harus bekerja bersama – sama dengan tujuan yang sama pada waktu yang sama pula. Lalu, seperti yang diajarkan pada Lean, kita harus membuat tim kita mandiri (autonomous) dan memiliki kuasa (empowered) sehingga jika seorang anggota tim berbuat kesalahan, ia dapat mengetahuinya diakhir siklus kerja singkat dan memperbaikinya sendiri secara mandiri.

      Prinsip kedelapan (#8) yaitu Radical Transparency.

      Pada prinsip ini, kita harus membangun transparansi dalam perusahaan seperti apa yang sedang dikerjakan, kenapa kita melakukan pekerjaan ini, bagaimana kondisi perusahaan dan seperti apakah gambaran dari keberhasilan atau sukses. Jika kita berhasil membangun transparansi tersebut di dalam tim kita kemudian kita bangun dalam satu perusahaan kita maka kerja sama antar tim akan lebih baik dan tim akan lebih semangat dalam membuat pelanggan sukses dan puas. Salah satu cara untuk membangun transparansi adalah melalui kebiasaan. Misalnya setiap hari dilakukan penceritaan pengalaman menarik yang terjadi di dalam kehidupan masing – masing anggota tim pada hari kemarin dan dilakukan sharing antar anggota tim. Cara lain untuk membangun transparansi adalah akses ke data. Jadi, selain kita memberikan akses ke layanan, fasilitas perusahaan, listrik, dan air, kita memberikan akses ke data kepada karyawan kita, sehingga karyawan dapat mengetahui apa yang sedang terjadi dengan produknya jadi ia mengetahui kondisi perusahaan.

      Prinsip kesembilan (#9) yaitu Review Incentives and Performance Management.

      Pada prinsip ini, kita dapat mempertanyakan apa insentif yang didapat dalam pekerjaan ini, karena dengan hal ini kita dapat mengetahui apa peran dari tim kita di perusahaan ini. Kemudian, kita juga harus mempertanyakan bahwa kita dibayar untuk melakukan pekerjaan apa, apakah kita dibayar untuk membuat output fitur dari produk atau kita dibayar untuk membuat pelanggan sukses.

      Prinsip kesepuluh (#10) yaitu Make Learning a First Class Citizen of Your Backlog.

      Jadi prinsip ini mengharuskan kita untuk menggabungkan setiap pekerjaan dalam satu tempat dan pembelajaran harus ada di dalam bagian tersebut. Misalnya kita membuat suatu desain kartu untuk proyek pekerjaan dari developer, maka dari itu kita harus menjadikan pekerjaan ini menjadi pembelajaran bagi diri kita sendiri.


Baik, semoga teman - teman dapat memahami konsep ini. Selamat belajar dan salam sehat.


- Andrean Yonathan


Comments

Popular posts from this blog

Ergonomi (Sistem Manusia-Mesin dan Interaksinya)

Proses Manufaktur (Soal - Soal Tugas Mandiri)

Praktikum Proses Produksi (Mesin Frais)